Rabu, 08 September 2010

Kebun Berkecai, Ikon yang Tergadai

Kebun Berkecai, Ikon yang Tergadai
KEBUN SAGU: Hamparan kebun sagu mudah ditemui di Kabupaten Kepulauan Meranti. Ini sesuai dengan kondisi alam semula jadinya yang berlahan gambut dan air payau yang disukai rumbia. (purnimasari/riau pos)
 
Laporan PURNIMASARI, Selatpanjang
purnimasari@riaupos.com

Subuh baru saja melambaikan tangannya. Titik-titik embun masih menyelimuti dedaunan. Semburat sang surya sudah mulai mengintip di balik awan. Pagi yang tenang di Dusun Lalang, sekitar 18 kilometer dari Selatpanjang, ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Tepatnya di Desa Tanjung, Kecamatan Tebing Tinggi Barat.
 
Setelah mengantar anaknya ke sekolah, Syafruddin (43) bergegas menuju Sungai Suir. Kira-kira lima menit menyeberang dengan sampan, ia berjalan kaki di tanah redang (tanah bergambut) yang di kanannya berjejer tiang listrik tak berkabel. Kurang lebih limabelas menit, ia sudah disambut gemuruh bunyi mesin. Itulah sekelumit serpihan kehidupan di kilang sagu.

Di belakang kilang, sejauh-jauh mata memandang yang tampak hanyalah kebun sagu yang membentuk hutan palma. Di kiri dan kanan jalan menuju ke kilang, tampak hamparan uyung (kulit sagu) yang dijemur. Persis di sebelah kilang, sebuah kuala sungai penuh dengan tual-tual sagu yang baru datang. Bangunan kilang sagu hampir mirip dengan gudang.

Dindingnya tinggi-tinggi dengan atap dari seng. Di dalamnya, bekerja berbagai jenis mesin dan wadah untuk mengolah sagu menjadi tepung. Mulai dari mesin parut, tong pencuci, bak pengendap, hingga oven.

Kehidupan di kilang mulai berdentang sejak pukul 7.00 hingga 17.00. Untuk sebuah kilang dengan kapasitas cukup besar, seperti kilang sagu Harapan I mampu menampung paling tidak sekitar 35 orang pekerja. Sebanyak 18 orang adalah pekerja tetap dan sisanya pekerja borongan.

Sagu adalah salah satu urat nadi kehidupan di kabupaten paling bungsu di Provinsi Riau ini. Kebun sagu di sepanjang pesisir pulau, masyarakat yang membawa tual-tual sagu, kapal kayu yang membawa rangkaian sagu dan segala sesuatu hal yang berkenaan dengan tanaman yang salah satu nama latinnya ialah Metroxylon sago rottb ini, adalah pemandangan yang sangat mudah kita temui di sana. Bahkan, setidaknya sejak era tahun 1950-an, sagu Meranti telah dikirim ke salah satu pelabuhan di pesisir Utara Jawa, Cirebon.

‘’Batang sagu kini lebih kecil dan pendek. Sekarang, satu tual panjangnya sekitar 40-45 inchi dengan diameter 30 inchi. Dulu bisa diameter 40-50 inchi,’’ tutur pria yang akrab disapa Pak Din ini.


Digerogoti Pajak Alias Rentenir

Sagu dari Meranti (biasanya dikenal dengan nama sagu Selatpanjang, red) memang telah tersohor ke mana-mana. Tanaman keluarga palma itu telah menjadi tempat bergantung sebagian besar kehidupan masyarakat. ‘’Tapi, di sini (Meranti, red), kalau tak hati-hati, kebun bisa kena pajak. Itu sebenarnya hanya nama lain dari rentenir. Sekali kena jerat, susah untuk lepas,’’ tutur ayah tiga anak ini.

Lamanya masa panen sagu, menurut Pak Din, adalah salah satu penyebab para petani sagu jadi tak berdaya menghadapi ijon. Sagu paling cepat hanya bisa dipetik hasilnya setelah 8-10 tahun. Dalam rentang waktu selama itu, jika tak punya mata pencaharian lain yang bisa mencukupi untuk keperluan harian rumah tangga, maka menggadaikan kebun sagu adalah salah satu pilihan yang susah untuk dihindari. ‘’Menanam sagu memang tak bisa dapat hasil cepat. Kalau ditanam waktu anak masih bayi, kadang sampai sudah mau masuk sekolah pun tetap masih belum bisa dipanen. Sementara itu banyak keperluan lain yang mendesak. Mau tak mau terpaksa kebun sagu digadaikan dulu,’’ ungkapnya.

Dengan sistem pajak, lanjut Pak Din, sang rentenir akan menakar kondisi batang sagu saat itu untuk beberapa rentang waktu ke depan dan tertentu. Misalnya kebun digadaikan untuk jangka waktu dua tahun. Biasanya harga yang diberikan cukup murah dan tak sebanding jika kelak sagu bisa dipanen. ‘’Tapi kalau musim anak mau masuk sekolah, menikahkan anak, mau puasa atau hari raya atau ada keperluan mendesak lainnya, harga murah itu terpaksa diterima petani. Yang penting dapat uang tunai dulu. Di Meranti ni ada tradisi, tiap tanggal 17 Agustus anak-anak biasa pakai baju sekolah dan sepatu baru. Belum lagi sekarang semua harga makin mahal. Akhirnya jual kebun. Kalau tidak hati-hati, nanti lahan sagu bisa habis bekecai, digadai dan akhirnya terjual ke tangan rentenir,’’ bebernya.

Sebab itu, kata Pak Din, tak heran, satu per satu kebun sagu masyarakat tempatan kini jatuh ke tangan warga Tionghoa yang umumnya memang terkenal bermodal besar. ‘’Sekarang sudah tak terhitung lagi banyaknya petani yang telah menggadaikan kebunnya. Jika dipersentasekan, kini perbandingan kebun orang Melayu dan orang Tionghoa bisa mencapai 20:80. Sudah banyak kebun sagu orang Melayu yang awalnya tergadai lantas kemudian terpaksa dijual karena tak sanggup lagi membayar hutang. Bahkan kini hanya tinggal tiga kilang sagu milik orang Melayu yang terbesar di Meranti. Sementara para tauke jumlahnya bisa mencapai sedikitnya 40 kilang,’’ ungkap Pak Din.

Dulunya, ayah Pak Din, Haji Muchtar Muhammad (alm) adalah salah seorang yang cukup risau dengan sistem pajak dan berusaha memutuskan mata rantai ijon. Seperti diceritakan Pak Din, sejak ada orang Melayu yakni ayahnya yang punya kilang, harga sagu ketika itu mulai bersaing. Akhir tahun 1980-an, satu batang sagu hanya dihargai Rp6. Setelah itu terus naik hingga jadi Rp15 ribu per batang di era 1990-an. ‘’Akibat monopoli, ada juga warga Tionghoa yang tinggal memberi modal, tapi orang kita yang menjalankan usaha sagunya,’’ ujar Pak Din.

Sebelumnya, sempat ada tujuh kilang yang dibawah binaan Haji Muchtar. Tapi setelah beliau berpulang dan karena pengelolaan yang salah, satu per satu kilang ini akhirnya jatuh ke tangan warga Tionghoa. ‘’Kini tinggal satu kilang yang masih jalan, tepatnya di wilayah Sungai Tohor, namun bahan bakunya sudah tidak dari kita lagi,’’ tutur Pak Din.
Hal senada diungkapkan petani sagu lainnya, Paridin (45). Menurutnya, akibat sistem pajak, peta kepemilikan kebun sagu yang dulunya banyak dimiliki orang Melayu kini berpusing arah menjadi milik warga Tionghoa. ‘’Kalau sudah kena pajak sekali, susah. Macam tak bisa lepas dari ikatan,’’ ujarnya.

Pekerja sagu lainnya Tugiman (53), juga sependapat. ‘’Kalau sistem pajak biasanya menghitung tinggi batang. Misalnya, digadaikan untuk 2 tahun, paling-paling cuma dapat Rp50 ribu per batang. Akibatnya petani jadi terikat dan harga jadi begitu-begitu saja, tak naik-naik,’’ bebernya.

Selain itu, lanjut Tugiman, anak-anak Melayu sekarang kurang berminat membuat kebun sagu atau meneruskan usaha sagu milik orangtuanya. ‘’Kalau anak sekarang, baru sekolah sikit, cita-citanya mau jadi pegawai. Jarang ada yang mau buat kebun. Tahan lama menganggur sebelum jadi PNS,’’ kata Tugiman.

Sementara itu, Ketua Koperasi Harmonis, Indra Wijaya mengatakan, hanya sebagian kecil kebun sagu milik Melayu yang telah dibeli oleh warga Tionghoa. ‘’Hanya sebagian kecil lah,’’ ujar pria yang juga akrab disapa Akok ini. Koperasi Harmonis adalah koperasi yang sebagian besar menaungi pemilik kebun dan kilang sagu milik warga Tionghoa. Sedangkan pengurus Koperasi Harmonis lainnya, Baharuddin menolak berkomentar soal hal ini. ‘’Saya tak bisa komentar, itu sudah menjurus ke dalam,’’ jawabnya.***

Sumber dari : http://www.riaupos.com/new/artikel.php?act=full&id=110&kat=12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage











Want this Intro Click Here