Selasa, 24 Agustus 2010

Perahu Rapuh Idrus Tintin

Oleh Agus Sri Danardana
27 Juni 2010
Bunyi pepatah: Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya rupanya diyakini betul kebenarannya oleh Idrus Tintin. Sebagai sastrawan besar (setidaknya di Riau), ia tetap menghargai jasa-jasa para pendahulunya dengan membaca karya-karyanya.
 
Salah satu pendahulunya itu adalah Hamzah Fansuri. Ia tidak sekadar mengenal nama dan deretan judul karya “pahlawan”nya itu, tetapi betul-betul memahami dan bahkan mencoba menjadikannya sebagai barometer (ke)hidup(an). Hal itu dengan jelas tampak pada salah satu sajaknya, berjudul “Perahu”. Sajak itu oleh Idrus Tintin diberi catatan: Setelah Hamzah Fansuri di bawah judulnya. Catatan itu kemudian diberi penjelasan (berupa kutipan sebagian syair “Perahu” Hamzah Fansuri), seperti tampak dalam kutipan lengkapnya berikut ini.

PERAHU
Setelah Hamzah Fansuri*)
 
Perahuku kecil dan rapuh
Layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.
 
Ingin seperti punya Hamzah
gagah mengarung medan lautan
alatnya kuat bekalnya cukup
laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.
 
Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
tempat laut terlalu dalam
ribut besar badai dan topan
banyak perahu rusak tenggelam
bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.
 
*) Sebagian dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri berbunyi:

Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil dirimu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat juga kekal diammu.
 
Perteguh juga alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
 
Laut Sailan terlalu dalam
Di sanalah perahu rusak
dan karam
Sesungguhnya banyak
di sana penyelam
Jarang mendapat permata nilam
 
Wujud Allah nama perahunya
Ilmu Allah akan dayungnya
Iman Allah nama kemudinya
Yakin Allah nama pawangnya.
 
(dikutip dari kumpulan puisi Taufiq Ismail [Ed.]: Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi [2002: 138-139])
 
Dalam sajak itu tampak dengan jelas bahwa Idrus Tintin dengan sengaja menjadikan Hamzah Fansuri (melalui “Syair Perahu”) bukan hanya sebagai acuan, melainkan juga sebagai pembanding (intertekstualitas) sajaknya. Dua hal: pengacuan dan pembandingan itulah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.


“Syair Perahu”

“Syair Perahu” adalah salah satu syair Hamzah Fansuri yang sangat terkenal. Menurut Braginsky, sejarawan Nusantara asal Rusia, syair ini memiliki banyak versi dan terus berkembang setelah kematian Hamzah Fansuri. Namun, beberapa syair awalnya dipandang masih “asli” dan bahkan disinyalir menjadi cikal-bakal lahirnya pantun Melayu modern saat ini. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansurilah yang pertama kali menyampaikan ajaran-ajarannya melalui ruba’i, pantun empat baris bersajak a/a/a/a atau a/b/a/b, di Indonesia. Konon, pola pantun empat baris yang diperkenalkan Hamzah Fansuri inilah yang kemudian berkembang di Indonesia.

Di samping memiliki keistimewaan dalam cara penyampaian (melalui ruba’i), Hamzah Fansuri juga memiliki keistimewaan dalam mengemas kandungan isi ajaran tasawufnya. Ia tidak menyampaikannya secara vulgar, tetapi secara simbolis dan metaforis, seperti tampak pada “Syair Perahu”.  Dalam syair itu, kehidupan ditamsilkan dengan sebuah perahu. Barangkali, berkat jasanya itu, Hamzah Fansuri (dan “Syair Perahu”) kini telah menjadi mitos yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Tidak terkecuali Idrus Tintin.
Sajak “Perahu”

Dilihat dari strukturnya, sajak “Perahu” karya Idrus Tintin ini sangat sederhana: hanya terdiri atas empat bait yang lariknya pendek-pendek serta kutipan empat bait dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri sebagai catatan kaki. Kutipan empat bait syair “Perahu”  Hamzah Fansuri itu, di samping berguna sebagai referensi atau acuan, juga bermanfaat sebagai kerangka bandingan dalam intertekstual. Barangkali itulah sebabnya Idrus Tintin merasa perlu menambahkan keterangan di bawah judul sajaknya itu dengan kata-kata Setelah Hamzah Fansuri. Sebagai sebuah referensi, keterangan itu menunjukkan bahwa perahu yang diciptakan/dimilikinya itu lahir setelah perahu Hamzah Fansuri.

Sajak “Perahu” berkisah tentang pengakuan dan penyesalan si aku lirik (Idrus Tintin) atas keberadaan dirinya yang bebal dan nakal. Ibarat sebuah perahu, ia bahkan sama sekali tidak menyerupai perahu Hamzah Fansuri yang mampu mengarungi lautan makrifat.

Kisah perahu (buatan) aku lirik ini dimulai dengan pernyataan/pengakuan: Perahuku kecil dan rapuh/layarnya koyak dan dayungnya pendek. Setelah menjelaskan lebih rinci akan kerapuhan perahunya: tidak memiliki perabot yang lengkap, tidak kuat dan kokoh, bekalnya serba tanggung, dan semuanya serba tak handal, si aku lirik mengemukakan keinginannya. Ia berkeinginan memiliki perahu yang tangguh, seperti milik Hamzah Fansuri. Akhirnya, si aku lirik pun menyesal. Beginilah cerita penyesalan itu terjadi.

Sejak kecil sebenarnya aku lirik telah dipesan oleh ibunya untuk rajin belajar: membaca, mengaji, dan mendalami Alquran hingga katam. Namun, karena bebal, nakal, dan malas, aku lirik tidak dapat mengatamkannya, maqadam sekali pun. Oleh karena itu, si aku lirik selalu bimbang dan terus bertanya: Bagaimana hendak mengarungi lautan Sailan dan bagaimana hendak pergi menyelam mengambil permata nilam, jika baru sampai di Laut Bintan saja perahunya sudah mau karam?


Tamsil Perahu

Baik “Syair Perahu” (Hamzah Fansuri) maupun sajak “Perahu” (Idrus Tintin) sama-sama menamsilkan kehidupan dengan perahu. Dalam konteks ini, manusia diibaratkan sebuah perahu yang sedang (dan harus) mengarungi lautan kehidupan. Bedanya, perahu Hamzah Fansuri kokoh dan mampu mengarungi lautan, sedangkan perahu Idrus Tintin rapuh dan kandas.
 
Begitulah Idrus Tintin. Sajak “Perahu”-nya, bisa jadi, bukan hanya dimaksudkan sebagai potret dirinya yang rapuh dan kecil di depan kekokohan dan kebesaran Hamzah Fansuri, melainkan juga dimaksudkan sebagai pengingat masyarakat agar mau bangkit dari kerapuhan. Bagaimana caranya? Idrus Tintin menunjukkannya pada “Syair Perahu”  Hamzah Fansuri, bukan pada sajaknya.***



Agus Sri Danardana adalah Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau. Tinggal di Pekanbaru.
 
Artikel ini diambil dari sumber : http://www.riaupos.com/new/artikel.php?act=full&id=75&kat=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage











Want this Intro Click Here