Selasa, 24 Agustus 2010

Beratnya Kembalikan Mobil Dinas

Insiden Jemput Paksa
22 Agustus 2010
Insiden Jemput Paksa















JEMPUT PAKSA: Anggota Satpol PP terpaksa mendorong mobil dinas rusak yang dijemput paksa dari rumah-rumah mantan pejabat.(Dok. Riau Pos)
 
Laporan ADRIAN EKO dan HELFIZON ASSYAFEI, Pekanbaru
redaksi@riaupos.com

Belum kembalinya 200 mobil dinas milik eks pejabat Pemprov Riau membuat laporan keuangan Pemprov tidak mencapai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Karena gerah, Gubernur Riau, HM Rusli Zainal menerbitkan SK penarikan mobil dinas dengan Nomor 223/SP-PP/VI/2010. Dengan berbekal surat tugas tersebut, Satpol PP melakukan upaya penjemputan paksa.
 
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh Sekretariat Daerah Provinsi Riau untuk ‘memanggil’ pulang mobil dinas yang masih dikuasai mantan pejabat. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai 200 unit. Mulai dari pengiriman surat, pendekatan persuasif hingga SK Gubri telah dibuat. Hasilnya nol koma nol. Pengguna mobil sama tak mengertinya dengan mobil yang benda mati itu.

Karena banyaknya yang belum sadar akan harta bukan milik mereka, langkah penarikan paksa mulai dilaksanakan tim khusus Satpol PP. Suatu pagi menjelang siang dengan empat kendaraan dan satu unit Truk sebanyak satu peleton anggota Sat Pol PP bergerak menuju Jalan Kapur Gang H Jakfar Tampan. Rumah yang dituju adalah milik seorang mantan pejabat eselon II di lingkungan Pemprov Riau. Begitu sampai sang komandan turun dan bermaksud melakukan penarikan dengan persuasif lewat dialog yang damai. Namun karena tuan rumah merasa terganggu privasinya keluarga mantan pejabat tersebut menolak dan langsung mencoba mengusir tim dari rumah mereka.

Muncul keributan kecil. Mantan pejabat itu lalu berteriak dari dalam rumahnya. ‘’Saya ini bukan penjahat, tapi saya mantan pejabat. Mengapa kalian memperlakuan seperti ini. Kalian masuk seperti maling, masak masuk pekarangan rumah orang tanpa permisi,” teriak Delfi Mukhtar yang merupakan mantan orang nomor satu di Dinas Sosial Riau.

Kasi Perundang-undangan Penindakan Satpol PP Riau, Irianto, tak gentar. Ia langsung rumah masuk rumah tanpa basa-basi lagi dan mempertanyakan kendaraan dinas Nissan Terano Grand Road yang belum dikembalikannya usai dia pensiun. ‘’Mobilnya tidak ada, dan saya sudah bilang akan dikembalikan. Buat apa di sorot-sorot seperti ini. Jangan difoto-foto nanti kalian terbitkan. Hapus gambar tadi itu, saya tidak bersalah dan bukan penjahat,” teriaknya lagi, sembari mengibaskan tangannya untuk mengusir beberapa wartawan lainnya dari dalam rumahnya.

Ternyata kendaraan yang menjadi target penarikan memang tidak berada di tempat dan diakui Delfi dibawa salah seorang anaknya keluar kota. Pada saat bersamaan istrinya jadi histeris melihat kedatangan petugas pengaman Perda tersebut. ”Kalian tahu apa, bapak pejabat yang sudah mengabdikan diri selama 25 tahun kepada pemerintah kok kalian perlakukan seperti ini,” teriaknya dari dalam rumah. Delfi memang pernah jadi orang penting di lingkungan Pemprov Riau.

Ia sebelumnya adalah orang yang berpengaruh. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Dinas Kesehatan, Wakil Kepala Dinas Sosial hingga terakhir masa jabatan Gubernur Riau, Wan Abu Bakar dia menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial.

Meski teriakan tersebut sudah mulai reda, namun beberapa kali umpatan dari keluarga sambil mengancam akan melempar wartawan yang hadir dengan sapu yang dipegang oleh istri. Melihat hal tersebut, Sukirno salah seorang tetangga mencoba untuk menenangkan istri Delfi Mukhtar yang sudah menangis untuk bersabar. Karena belum juga ada kejelasan, tim yang memang sudah mantap akan menjalankan amanat dari SK tersebut tetap berada di depan rumah.

Mengatasi keadaan yang semakin buruk itu akhirnya Delfi segera menghubungi Kabag TU Satpol PP Riau, Abdul Latif dan berjanji untuk mengembalikan mobil tersebut secepatnya. Sudah dapat kepastian, Satpol PP akhirnya bergerak meninggalkan lokasi. Seorang warga yang sempat diwawancarai Riau Pos mengatakan mobil dinasnya bukan hanya satu. ‘’Saya sempat melihat di rumah bapak. Mobil plat merahnya bukan satu tapi dua,” ujar orang itu.

Tim lalu berangkat menuju ke lokasi penarikan berikutnya di Jalan Imam Munandar Gang Gunung Merapi Harapan Raya menuju rumah Alfi Syahrin yang merupakan mantan Kabid Operasional di Satker Satpol PP Riau. Namun di tengah jalan, berdasarkan laporan intel yang diterjunkan diketahui baik mobil maupun Alfi tidak berada di lokasi tujuan.

Sementara itu Kabiro Perlengkapan Sekdaprov Riau, Kasmianto, Kamis (5/8) mengakui, kesadaran para pejabat dan mantan pejabat masih tergolong rendah untuk mengembalikan mobil dinas. “Padahal, pejabat itu semestinya sudah tidak berhak lagi menggunakannya. Para pejabat yang masih menggunakannya ada yang sudah pensiun, ada juga yang sudah pindah dari jabatan sebelumnya. Termasuk mantan anggota DPRD Riau priode 2004-2009,” katanya.

Menurut kata Kasmianto, dari 200 unit mobdin yang dipinjam-pakaikan, pemprov baru berhasil menarik sekitar 30 unit. Sedangkan sekitar 170-an unit lagi yang belum diketahui keberadaanya. “Berdasarkan data dari Biro Perlengkapan Setdaprov Riau, jumlah mobdin yang harus ditarik paksa sebanyak 100 unit. Sebanyak 80 unit mobdin dibawa eks pejabat di lingkungan Pemprov Riau, dan 20 unit mobdin dibawa eks anggota DPRD Riau periode 2004-2009,” katanya.

Berdasarkan data Biro Perlengkapan, 100 jenis kendaraan itu terdiri dari terdiri dari 20 unit Kijang Innova, 20 unit Nissan Terrano, 6 unit Opel Blazer, 5 unit Kijang Kapsul dan beberapa merek lainnya.


Masyarakat Geram

Adanya sikap tak terpuji mantan pejabat itu menimbulkan kegeraman di kalangan masyarakat banyak. Muhammad Fitriadi misalnya satu di antaranya. Warga yang tinggal di Jalan Wiraswasta, Tampan, Pekanbaru ini mengaku geram sekali melihat polah dan tingkah pejabat dan wakil rakyat yang enggan mengembalikan mobil dinas.

”Sebenarnya jika para mantan pejabat publik memahami betul-betul bahwa menguasai aset publik sama dengan tindak korupsi, masalah penguasaan mobil dinas tidak akan terjadi. Pasalnya, tindakan seperti itu bukan saja memalukan, tapi juga mengabaikan amanah yang selama ini diembannya,” ujarnya geram. Menurutnya aset publik bukan untuk dikuasai, tapi bagaimana menjaga dan memanfaatkannya untuk keperluan kepentingan publik.

Lalu, bagaimana jika aset itu digunakan diluar urusan publik? ”Itu sama saja dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse power) dan dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan pejabat publik,” ujarnya. Sebenarnya, lanjut M Fitriadi, mereka itu memahami. Hanya saja mereka tak ambil peduli, karena selama ini tidak diberikan tindakan sanksi yang tegas. Sementara itu Jefrinedi seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri di Pekanbaru mengatakan bahwa upaya paksa itu mencerminkan buruknya mental orang-orang yang punya posisi strategis di pemerintah.

”Bayangkan kalau yang jelas-jelas menyalahi aturan begitu saja mereka berani melawannya apalagi aturan yang samar-samar. Makanya korupsi tak habis-habis di negeri ini,” ujar Jefri. Menurutnya biarpun aturannya bagus namun penerapannya tidak tegas maka aturan itu menjadi tidak berguna. ”Kalau orang sudah melanggar SK Gubri itu kan kejahatan harusnya bukan cuma dijemput Sat Pol PP sekalian saja dijemput polisi,” ujarnya lagi.

Hal senada dikatakan Kasman mahasiswa PTS di Pekanbaru. Menurutnya ciri negara maju adalah penegakkan hukum yang adil. ”Lihat Cina sekarang sudah mengimbangi AS dalam bidang ekonomi. Selain etos kerja mereka juga ketegasan pemerintah mereka dalam menghukum para koruptor dengan hukuman mati,” tegasnya. Oleh karena itu, lanjutnya, selama orang-orang yang diberi amanah tetapi melakukan tindakan korupsi maka sebaiknya dihukum mati.

Kasman juga menyarankan agar nama-nama para koruptor dan nama-nama orang yang menguasai aset negara secara tidak legal supaya diumumkan di koran-koran. ”Kalau perlu pakai fotonya sekalian biar masyarakat tahu benar siapa mereka-mereka itu,” ujarnya. Menurutnya selama ini jika yang melanggar aturan pejabat maka hukum tidak bisa ditegakkan seadil-adilnya. Tapi kalau rakyat kecil yang melanggar maka langsung digebuk, dikejar-kejar atau ditahan barang-barang jualannya.


Haram Hukumnya

Sementara itu Pimpinan Kajian Islam Intensif Taffaqquh Pekanbaru, DR H Mustofa Umar MA mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai dengan aturan yang diajarkan agama. ”Dalam Islam itu tegas disebutkan bahwa memakai, memakan, menguasai barang atau jasa atau apapun yang bukan haknya hukumnya jelas haram,” ujarnya. Menurutnya jangankan dalam hal yang jelas seperti itu bahkan dalam hal yang samar pun dapat terjadi.

Misalnya, lanjut alumni Al Azhar Mesir itu, bila ada pembagian dana tidak jelas dari mana atau meneken SPPD palsu dan mengambil uangnya maka semua itu haram dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Menurutnya sesuatu yang haram ganjarannya adalah api neraka. ”Ada hal-hal yang bisa dimaafkan dan ada pula yang tidak,” ujarnya. Menurutnya satu di antara yang sulit mendapat maaf adalah bila berbuat kesalahan terhadap sesama manusia.

”Kalau sama Allah SWT jika kita terlanjur salah kita bisa mohon ampun dan bertaubat,” ujarnya. Sedangkan bila melakukan kesalahan kepada manusia tidak bisa lantas minta ampunnya sama Tuhan. ”Harus meminta maaf dari yang dizalimi,” ujarnya. Sedangkan tindakan menggunakan aset negara tanpa hak sama dengan menzalimi orang banyak. ”Maka si pelaku kelak di akhirat harus mencari semua orang yang dizaliminya itu dan harus minta maaf satu persatu. Ini perkara besar walaupun sekarang dianggap remeh,” ujarnya lagi.(fiz)

Artikel ini diambil dari sumber : http://www.riaupos.com/new/artikel.php?act=full&id=100&kat=12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome to my blog
go to my homepage
Go to homepage











Want this Intro Click Here